Senin, 07 Juni 2010

IDEA OR IDEAD?

Satu lagi quote yang inspiratif untuk saya:
IF YOU DON’T EXECUTE YOUR IDEAS, THEY DIE (Roger Van Oech)

Kutipan dari Roger Van Oech (seorang pengarang dan penceramah) diatas bagaikan palu yang memukul kepala saya dan membuat saya sadar atas apa yang terjadi pada diri saya selama ini: penyia-nyiaan ide. Tak terhitung berapa kali seringnya saya terinspirasi dari berbagai hal dan akhirnya memunculkan ide-ide dalam otak, beberapa diantaranya adalah ide-ide yang cukup bagus menurut kapasitas otak saya. Tapi tak terhitung juga seringnya saya menyia-nyiakan ide-ide itu, membiarkan ide-ide liar itu hanya hidup dalam bentuk imajiner tanpa ada realisasinya dan akhirnya ide-ide itu melemah dan mati sia-sia, terkubur tanpa sisa.

Saya baru sadar ternyata saya sering banget melakukan pembunuhan ide sendiri. Dan mungkin saya gak sendiri, mungkin banyak teman-teman dari dunia kreatif, yang notabene sangat akrab dengan ide-ide, merasakan dan mengalami hal serupa.

Kalo pengalaman saya pribadi sih halangan terbesar adalah rasa malas. Waktu satu ide datang, dalam pikiran kita dengan asyiknya merancang ini merancang itu, semua terasa ringan dan mengasyikan. Kareana kita cukup membayangkan saja, tidak perlu banyak tenaga, waktu dan biaya. Malah kadang ide-ide muncul tanpa kita rencanakan atau kita cari. Bahkan saya paling sering mendapat ide waktu naik motor sendirian sambil mendengarkan musik lewat MP4 player butut saya.
Lain lagi saat perealisasian ide itu. Saat akan mengeksekusi ide-ide itu dalam bentuk nyata kita mau tidak mau dipaksa untuk menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan mungkin biaya. Dan itulah yang sering bikin saya malas. Atau mungkin saya tidak punya cukup waktu, tenaga dan pikiran untuk disisihkan? Kurang tahu juga ya.
Menariknya, ide-ide yang timbul dari ketidaksengajaan atau keisengan yang saya realisasikan justru sering mendapat apresiasi yang positif. Ide-ide spontan sering lebih mengena. Beberapa waktu lalu saya bersama teman-teman mengadakan artwork exhibition di kampus. Dalam pameran itu saya mengikutsertakan dua artwork yang idenya berawal dari iseng dan spontanitas. Mengangkat dua hal yang saat itu (mungkin sampai saat ini) sedang in: Bahasa Alay dan Facebook. Idenya muncul begitu saja, tanpa brainstorming yang rumit. Saya bikinnya saja baru sehari sebelum batas pengumpulan karya. Hasilnya? Wow, tanpa saya duga banyak respon positif terhadap dua karya “iseng” saya itu.

Saya jadi berpikir, saya sering sekali dapat ide-ide spontan semacam itu. Bukan tidak mungkin kalo semua ide itu saya eksekusi akan bernasib baik seperti dua karya “iseng” saya tadi? Sudah cukup saya menjadi pembunuh, ya, pembunuh ide sendiri. Sekecil apapun ide itu, realisasikan, eksekusi. Walaupun kelihatannya itu adalah ide yang sederhana dan remeh temeh. Karena terkadang ide yang paling sederhana, dekat dengan kita dan membumi adalah ide yang paling jenius. Lagipula ide adalah anugerah bagi kita orang-orang kreatif. Kalau kita membunuh ide-ide kita sendiri apakah kita masih pantas menyandang predikat kreatif?

*ide untuk menulis tulisan ini sudah mendekam dalam kepala saya berminggu-minggu sebelum saya eksekusi. Hampir saja saya menjadi pembunuh lagi :p

REFLEKSI

Berdiri di hadapan, seorang remaja tanggung
Wajahnya sedingin dan sekaku dinding marmer
Dengan segaris senyum yang sarat dengan sinisme getir
Seakan ingin mengejek dunia beserta seluruh kontennya
Mengaku sebagai putra sekaligus korban globalisasi
Hasil intimnya hubungan kapitalisme dan modernisasi kota besar
Doktrin-doktrin keakuan ketat mengawalnya tumbuh dan berkembang
Ya, kesombongan adalah dosa favorit pilihannya
Matanya terlalu sibuk melihat mimpi masa depan yang dirancangnya sendiri
Gendang telinganya sudah terlalu penuh oleh Jay-Z dan Michael Jackson
Kakinya sibuk menarikan tarian urban beralaskan Converse All Star Classic
Atau santai melangkah di taman bermainnya yang bernama Super Mall
Tak peduli apa yang orang, atau bahkan mungkin malaikat katakan tentangnya
Tentang rekam jejak hidupnya yang sarat dengan attitude minor
Tapi sungguh dia adalah pencinta yang baik
Sama baiknya seperti saat dia memainkan peran antagonis sebagai pembenci
Romantisme bersembunyi dalam selaput wataknya yang sentimental
Empati masih terselip di belantara pekat dominasi egonya
Coba nikmati tiap degup ritme hidupnya
Nikmati glamornya kehidupan malam di Kemang
Hingga damainya rumah sederhana di garis tepi kota Solo
Ia pun teringat melankolia ditengah malam berhujan itu
Saat menyusuri kolong terowongan Casablanca
Ditemani redupnya deretan lampu jalan yang teatrikal
Dan dia berkata padaku: “Nikmati, pikirkan dan berkembanglah”
Sekejap aku tersadar ternyata aku sedang menatap cermin

PUISI PAGI JAKARTA

Terjaga lebih pagi dari matahari
Langkahkan kaki saat langit belum juga terang
Untuk pertarungan demi mencapai tempat penghidupan
Berlomba dengan detik waktu yang terasa makin mahal
Kotak-kotak besi bermesin berderet panjang
Seakan berbaris untuk menuju surga
Ditemani hangatnya berita koran pagi dan detik.com
Saat radio mentransmisi celoteh para penyiar kondang
Kepulan asap hitam meningkahi bising deru corong knalpot
Dan sumpah serapah pun menambah semaraknya pagi ini
Dalam pengapnya ruang sempit metromini dan kopaja
Atau dalam ruang transjakarta yang sedikit lebih nyaman
Berjejalnya spektrum warna warni penghuni metropolis
Mencoba membunuh bosan dengan caranya masing-masing
Gosip pagi hari para wanita karir,
Autisme massal ala Blackberry dan ipod,
Curhatan hati siswa-siswi berseragam,
Atau mencuri sedikit lelap diatas kursi plastik keras
Harmonisasi medley persembahan para musisi jalanan
Mungkin sedikit bisa menetralisasi stres tanggal tua
Jalan panjang dari pinggiran kota yang sedikit usang
Menuju koloni gedung pencakar langit di Sudirman
Refleksi kemegahan imperial seperti berucap selamat pagi
Salam bersahaja dari sombongnya gedung-gedung tinggi
Salam hangat dari sang Batavia yang congkak namun menyenangkan
Yang rasanya sulit untuk diabaikan oleh siapapun
Dan saat destinasi akhir pun akhirnya terlihat, meringkasi pagi
Satu pagi yang biasa di Jakarta