Berdiri di hadapan, seorang remaja tanggung
Wajahnya sedingin dan sekaku dinding marmer
Dengan segaris senyum yang sarat dengan sinisme getir
Seakan ingin mengejek dunia beserta seluruh kontennya
Mengaku sebagai putra sekaligus korban globalisasi
Hasil intimnya hubungan kapitalisme dan modernisasi kota besar
Doktrin-doktrin keakuan ketat mengawalnya tumbuh dan berkembang
Ya, kesombongan adalah dosa favorit pilihannya
Matanya terlalu sibuk melihat mimpi masa depan yang dirancangnya sendiri
Gendang telinganya sudah terlalu penuh oleh Jay-Z dan Michael Jackson
Kakinya sibuk menarikan tarian urban beralaskan Converse All Star Classic
Atau santai melangkah di taman bermainnya yang bernama Super Mall
Tak peduli apa yang orang, atau bahkan mungkin malaikat katakan tentangnya
Tentang rekam jejak hidupnya yang sarat dengan attitude minor
Tapi sungguh dia adalah pencinta yang baik
Sama baiknya seperti saat dia memainkan peran antagonis sebagai pembenci
Romantisme bersembunyi dalam selaput wataknya yang sentimental
Empati masih terselip di belantara pekat dominasi egonya
Coba nikmati tiap degup ritme hidupnya
Nikmati glamornya kehidupan malam di Kemang
Hingga damainya rumah sederhana di garis tepi kota Solo
Ia pun teringat melankolia ditengah malam berhujan itu
Saat menyusuri kolong terowongan Casablanca
Ditemani redupnya deretan lampu jalan yang teatrikal
Dan dia berkata padaku: “Nikmati, pikirkan dan berkembanglah”
Sekejap aku tersadar ternyata aku sedang menatap cermin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar