Kamis, 25 Maret 2010

AH TEORI !!

“Apa sih definisi iklan itu?”

Pertanyaan itu terlontar dari salah satu teman waktu saya bersama empat orang teman kongkow-kongkow di wedangan boulevard kampus seusai kuliah. Bernagai jawaban pun muncul menanggapi pertanyaan tadi. Saya sendiri, yang seorang lulusan D3 Periklanan malah gak ikut memberikan jawaban, soalnya jujur saja saya tidak hafal satupun definisi iklan menurut ahli-ahli periklanan atau buku literature periklanan. Tapi ada satu pendapat dari kawan saya Prabowo Sigit (yang juga lulusan D3 Periklanan seperti saya) yang 100% saya amini, mengutip dari tokoh periklanan favorit saya: Budiman Hakim: “Iklan adalah iklan. Definisi hanya akan menciptakan batasan”.

Yah, kalau jawaban itu dipakai untuk menjawab soal ujian mata kuliah periklanan sudah pasti nilai nol sebagai ganjarannya. Tapi lain lagi kalau diterapkan dalam dunia periklanan praktis, pernyataan diatas sangat relevan karena pada prakteknya tidak ada batasan secara jelas tentang apa itu iklan di masa sekarang ini.

Kejadian ini menguatkan ketidak tertarikan saya terhadap definisi atau teori. Ya, saya memang kurang bersahabat dengan yang namanya teori. Menurut saya definisi dan teori hanya bisa sepenuhnya diaplikasikan dalam koridor akademis; membuat tugas kuliah, ujian atau menyusun skripsi. Pada dasarnya saya memang orang yang menyukai hal-hal yang bersifat praktek dan real.

Tapi, selain sifat bawaan saya tadi, yang andilnya tidak kalah besar dalam membentuk karakter saya (dan mungkin puluhan, ratusan bahkan ribuan orang di Indonesia) yang anti-teori menurut saya adalah sistem pembelajaran di negara kita tercinta ini, yang harus kita akui, memang sangat teoritis. Coba ditelaah, semenjak SD kita dijejali bermacam-macam teori dari berbagai disiplin ilmu, tapi paling hanya beberapa yang benar-benar nyangkut dan membekas di otak, selebihnya hanya dihafalkan saat menjelang ujian dan tidak akan bertahan lama di memori otak. Paling gak itu sih yang saya rasain, bahkan hingga saya kuliah di jurusan Komunikasi UNS sekarang ini.

Sistem pembelajaran kita selalu memaksa kita untuk selalu menghafal tumpukan-tumpukan teori. Padahal esensi sesungguhnya dari suatu ilmu adalah bagaimana kita memahami dan mengaplikasikannya bukan sejauh mana kita menghafalnya. Betul?

Tapi bukan berarti saya sama sekali tidak percaya dengan teori. Semua ilmu pasti memiliki teori-teori yang dikemukakan ahli-ahli yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Saya meyakini teori-teori itu sebagai fondasi dalam mempelajari sebuah ilmu, tapi tidak lantas menjadikannya patokan baku nan kaku atau pakem saklek. Seperti yang dikatakan oleh (lagi-lagi) Budiman Hakim: Jangan pernah tergila-gila pada suatu teori, teori hanyalah suatu kesimpulan dari masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar