Kamis, 25 Maret 2010

RASA BUAT DESTA

waktu itu hari Minggu 2 November 2008.
Sore itu sekitar jam 15.oo saya sedang jalan-jalan di Solo Grand Mall sama Ratu, pacar saya. Tiba-tiba ringtone di hp saya berdering menandakan ada satu sms yang masuk, di layar hp tertulis: “1 message received from ADV_Galank”, begitu saya buka isinya ternyata berita duka cita; ayah Desta, salah satu sahabat saya, meninggal dunia. Innalillahi wainnailaihi rojjiun.
Saya pun seketika mengirimkan sms duka cita untuk mengucapkan rasa bela sungkawa ke Desta sekeluarga.

Besok paginya saya bersama teman-teman sekelas janjian melayat bareng-bareng kerumah Desta. Kita berangkat barengan dari kampus sekitar jam 10 pagi.
Sesampainya disana, rumah Desta sudah ramai. Setelah melewatin barisan pelayat saya dan teman-teman langsung mengucapkan rasa bela sungkawa ke Desta dan keluarganya. Saya melihat Desta dengan wajah yang sama sekali belum pernah saya lihat sebelumnya, wajahnya sayu dan sedih lengkap dengan mata sembab bekas menangis semalaman, air mata masih terlihat belum kering betul di kedua sudut matanya. Wajah yang benar-benar kontradiktif dengan wajah ceria yang selalu ditampilkannya di kampus selama ini. Tapi wajar saja kalo dia sedih sekali, dia baru saja ditinggal pergi oleh salah satu orang yang paling disayanginya, untuk selamanya. Mungkin bukan cuma saya yang punya pikiran kayak gitu, anak-anak yang lain pun seperti ikut mengerti rasa sedih yang Desta rasain dan gak bisa bicara banyak saat satu persatu bersalaman dengan Desta. Saya sendiri cuma bisa berucap “Yang sabar ya, Des” waktu bersalaman sama teman dekat saya itu. Yang dijawab Desta dengan sebaris ucapan terima kasih dengan suara yang bergetar menahan duka.

Gak tau kenapa, ngeliat Desta yang seperti itu saya tiba-tiba merasa sedih seakan saya bisa ikut merasakan sedih yang Desta rasakan “cuma” dengan melihat wajahnya. Tiba-tiba rasa sedih yang teramat sangat terasa mendominasi isi hati saya seakan-akan yang meninggal dunia adalah keluarga saya sendiri padahal saya bahkan belum pernah sekalipun ketemu ayahnya Desta. Saya benar-benar merasa prihatin melihat Desta yang kelihatan sangat terpukul, saya ingin berbuat seuatu untuk menghibur dia dan melihat senyum yang selama ini senantiasa ditampilkannya dikampus. Persahabatan melahirkan rasa empati yang hebat. Satu hal lagi yang bikin saya sedih, selama saya temenan sama Desta belum sekalipun saya kerumahnya, tapi kenapa kedatangan pertama saya kerumahnya adalah waktu saya menghadiri pemakaman ayahnya, ada rasa penyesalan atas hal ini.
Puncaknya adalah waktu saya merekam saat-saat menjelang pemberangkatan jenazah ayah Desta dari rumah duka menuju tempat perisitirahatan terakhir beliau, waktu saya melihat Desta berusaha tegar untuk melepas ayahnya ke persinggahan abadinya walaupun saya tahu pasti sangat sulit buat dia. Tanpa saya sadarin ada beberapa titik air mata yang nekat menetes dari ujung mata saya.
Di momen itu saya belajar sesuatu. Gimana sedihnya kehilangan orang tua yang amat sangat saya cintai, gimana saya harus belajar dari Desta untuk mencoba tabah dan ikhlas kalo suatu saat kejadian seperti ini akhirnya datang dalam hidup saya. Karena saya mungkin akan menghadapi situasi seperti ini juga suatu hari nanti, kenapa saya bilang “mungkin”? Karena saya gak tau sapa yang akan dipanggil untuk menghadapNya lebih dulu; saya atau kedua orang tua saya.

Tapi ditengah suasana berduka itu saya menemukan secercah titik terang yang membuat hati saya pulih dari kesedihan tadi, satu lagi arti pentingnya sebuah persahabatan.
Setelah jenazah diberangkatkan ke pemakaman, saya dan beberapa anak-anak menghampiri Desta yang memang tidak ikut menghantar sang ayah ketempat perisitirahatan terakhirnya.
Saya pribadi awalnya cuma pengen ngeliat keadaan Desta dari deket. Saya sekali lagi mengucapkan bela sungkawa dan menyampaikan sedikit kata-kata penguat buat Desta. Tapi setelah beberapa saat Desta pun bercerita bagaimana sedihnya ditinggal pergi ayahnya, bagaimana selama ini dia berusaha tetep terlihat ceria di kampus seakan-akan gak ada apa-apa padahal saat itu ayahnya sedang terbaring sakit di rumah sakit, dan itu sangat membebani Desta secara fisik maupun mental. Bagaimana dia berusaha menutupi perasaannya itu di depan temen-temen, termasuk saya. Satu cerita yang selama ini saya tidak tahu. Ternyata di balik senyum dan wajah cerianya itu Desta menyimpan sebuah beban yang berat di dalam hatinya. Sebuah ketegaran yang bikin saya makin salut sama teman saya yang satu ini. Selama ini saya mengenal Desta sebagai Gadis yang Selalu Tersenyum, mulai sekarang dan seterusnya saya akan lebih mengenalnya sebagai Gadis Tegar yang Akan Selalu Berusaha untuk Tersenyum.
Percakapan antara saya dan Desta terus mengalir. Di tengah pembicaraan yang tadinya terasa amat sendu itu tiba-tiba secara spontan saya mengeluarkan sepatah kata lelucon, mungkin tanpa sadar kebiasaan bercanda saya sama Desta dikampus terbawa disini. Padahal sumpah saya gak sengaja dan gak bermaksud sedikitpun untuk mengajak Desta bercanda di kondisi yang seperti itu. Dan tanpa saya sangka Desta pun tersenyum, bahkan terus tertawa kecil. Senyum dan tawa Desta itu tiba-tiba merubah suasana dengan drastis, yang tadinya sendu berubah jadi hangat dan ceria, wajah Desta yang dari tadi sedih pun kini dihiasi senyumnya yang sangat sangat kenal. Bahkan selanjutnya kita berdua melakukan kebiasaan tiap hari dikampus: saling mencela, dan seperti biasa saya yang selalu menang dan Desta saya jadikan bulan-bulanan. Saat itu saya benar-benar melihat sosok Desta yang selama ini saya kenal; ceria, sabar dan selalu tersenyum.

Pengalaman ini memberikan saya satu perasaan yang amat sangat indah dan berharga.
Perasaan bahagia ketika kita bisa memberikan (sedikit) kebahagiaan kepada orang terdekat kita saat mereka sedih. Saat kita bisa membuat mereka tersenyum setelah mereka menangis. Saat kita bisa memberi secercah cahaya di kelamnya hari mereka. Saat kehadiran kita bisa menghibur hati mereka yang sedang lara.
Melihat senyum Desta saat itu bikin saya merasa bisa menjadi “sesuatu” atau bisa memberi “sesuatu” yang bisa membuat dia melupakan kesedihannya walaupun cuma untuk sesaat.

Siang itupun menjadi satu siang yang penuh arti buat saya, dan saya harap penuh arti juga buat sahabat baik saya, Desta.

I wrote this for my nice friend Destasia Sakasti Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar